New album ke 4 seventeen

New album ke 4 seventeen
4th album seventeen

Rabu, 30 Desember 2009

George Junus Aditjondro

George Junus Aditjondro (lahir pada 27 Mei 1946 di Pekalongan, Jawa Tengah) adalah seorang sosiolog asal Indonesia.

Pada sekitar tahun 1994 dan 1995 nama Aditjondro menjadi dikenal luas sebagai pengkritik pemerintahan Soeharto mengenai kasus korupsi dan Timor Timur. Ia sempat harus meninggalkan Indonesia ke Australia dari tahun 1995 hingga 2002 dan dicekal oleh rezim Soeharto pada Maret 1998. Di Australia ia menjadi pengajar di Universitas Newcastle dalam bidang sosiologi. Sebelumnya saat di Indonesia ia juga mengajar di Universitas Kristen Satya Wacana.

Saat hendak menghadiri sebuah lokakarya di Thailand pada November 2006, ia dicekal pihak imigrasi Thailand yang ternyata masih menggunakan surat cekal yang dikeluarkan Soeharto pada tahun 1998[1].

Pada akhir bulan desember 2009, beberapa lama setelah peluncuran bukunya terakhir, Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyalurkan keprihatinanya atas isi buku tersebut[2].Buku itu sempat ditarik dari etalase toko walaupun pada saat itu belum ada keputusan hukum terhadap peredaran buku itu
Gladi Resik Pemakaman Gus Dur Dilakukan Tiga Kali
Santri Pondok Pesantren Tebu Ireng berdoa di liang lahat yang akan digunakan sebagai makam mantan Presiden RI, KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, di areal Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur, Kamis (31/12/2009).

u akan digelar selepas waktu dzuhur.

Rabu, 23 Desember 2009

Tugas
Selasa,22 Dec 2009. 1. Sebutkan & Jelaskan VOIP Internet yg ada
minimal 5 jenis VOIP Internet. 2. Pada VOIP Yahoo Messanger jelaskan
fitur-fitur SMS,Telpon ke Komputer, Telpon ke HP, Tranfer File. Buat
Step by Stepnya dgn Print Screen. Tolong segera konfirmasi ke
teman-temanyya. Dikumpulkan Pada hari Selasa, 29 December 2009

Jumat, 18 Desember 2009

Antasari Azhar (Ketua KPK)

Lahir di Pangkal Pinang, Bangka Belitung, pada 18 Maret 1953. Mengenyam pendidikan dasar di SD Negeri I Belitung sebelum menyelesaikan pendidikan SMP dan SMA-nya di Jakarta. Enam tahun di Jakarta, Antasari kembali ke Palembang ketika mengikuti jenjang perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya. Selama masa kuliah itu, Antasari tergolong mahasiswa yang gemar berorganisasi. Beliau pernah menjabat sebagai Ketua Senat Fakultas Hukum dan Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa Universitas Sriwijaya.


Seusai menamatkan bangku kuliah, Antasari memilih untuk langsung mengabdi kepada negara. Dia bergabung dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional pada Departemen Kehakiman (kini Departemen Hukum dan HAM). Empat tahun di sana, Antasari bergabung dengan kejaksaan. Di korps Adhyaksa ini, beliau mengabdi selama lebih dari dua puluh tahun dengan jabatan terakhir sebagai Direktur Penuntutan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung.


Selama di kejaksaan, Antasari mengikuti berbagai pelatihan dan pendidikan, mulai dari pendidikan kedinasan seperti SPAMA, SPAMEN, dan SPATI, hingga pelatihan spesialisasi seperti spesialis subversi, korupsi, dan lingkungan hidup. Bapak dua orang anak ini juga sempat mengikuti pendidikan dan pelatihan yang diadakan di luar negeri, di antaranya Commercial Law di New South Wales University Sidney pada 1996 dan Investigation For Environment Law, EPA, Melbourne pada 2000. Di tahun yang sama pula, beliau meraih gelar magister hukumnya di STIH "IBLAM".


Pada 5 Desember 2007, Komisi III DPR melalui voting, memutuskan Antasari untuk memegang tampuk Pimpinan KPK periode 2007-2011 bersama empat orang lainnya. Pengucapan sumpahnya sebagai Pimpinan KPK periode 2007- 2011 dilakukan di hadapan Presiden Republik Indonesia di Istana Negara pada Selasa, 18 Desember 2007. Pada 11 Oktober 2009, sesuai dengan Keputusan Presiden No. 78/P Tahun 2009, Antasari diberhentikan dari posisinya sebagai ketua merangkap anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2007-2011.

Chandra M.Hamzah  Chandra M. Hamzah (Wakil Ketua)

Lahir di Jakarta, 25 Februari 1967, menamatkan pendidikan sarjana di tahun 1995 pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Selepas kuliah, pada 1998, beliau—yang semasa mahasiswa sempat menjadi komandan resimen mahasiswa dan Ketua Senat Mahasiswa Universitas Indonesia—membidani lahirnya Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Chandra memiliki sejumlah lisensi keahlian bidang hukum, yakni lisensi Konsultan Hak Kekayaan Intelektual, lisensi Konsultan Hukum Pajak, lisensi Konsultan Hukum Pasar Modal, dan lisensi Pengacara/Penasihat Hukum/Advokat.


Pimpinan KPK termuda ini pernah bergiat di YLBHI sebagai asisten pembela umum. Sempat pula bekerja sebagai staf hukum PT Unelec Indonesia (UNINDO). Setelah itu, Chandra memulai karier pengacara pada sejumlah firma hukum. Beberapa di antaranya adalah pada firma hukum Erman Radjaguguk & Associates, partner pada firma hukum Hamzah Tota Mulia, pengacara senior pada firma hukum Lubis Ganie Surowidjojo, dan partner pada Assegaf Hamzah & Partners.


Sebelum berkiprah di KPK, Chandra juga sempat berkutat dalam kegiatan memberantas korupsi saat menjadi anggota Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) pada 2000-2001. Pada rentang waku yang sama, beliau juga ambil bagian dalam Tim Persiapan Pembentukan Komisi AntiKorupsi. Saat ini, beliau menjabat Wakil Ketua KPK yang membawahi bidang penindakan serta bidang informasi dan data.


Bibit Samad Rianto (Wakil Ketua)

Lahir di Kediri, Jawa Timur, pada 3 November 1945. Menghabiskan masa sekolah di tanah kelahirannya, Bibit kemudian memilih untuk bergabung di Akademi Kepolisian dan lulus pada 1970. Setelah itu, 30 tahun lamanya Bibit mengabdi di kepolisian. Berbagai posisi teritorial pernah diembannya, di antaranya Kapolres Jakarta Utara, Kapolres Jakarta Pusat, Wakapolda Jawa Timur, dan Kapolda Kalimantan Timur.


Bibit pensiun dari kepolisian pada 15 Juli 2000 dengan pangkat terakhir Inspektur Jenderal. Atas jasa dan pengabdiannya selama bertugas, beliau mendapatkan berbagai bintang jasa dan penghargaan, di antaranya Satya Lencana Kesetiaan, Satya Lencana Dwidya Sista, Bintang Bhayangkara Nararya, Bintang Yudha Dharma Nararya, dan Bintang Bhayangkara Pratama.


Selepas pensiun dari dinas kepolisian, bapak empat orang anak ini tidak lantas berdiam diri. Kehausannya terhadap ilmu pengetahuan membuat Bibit kembali ke dunia kampus untuk mengambil gelar doktoral yang akhirnya diperoleh pada 2002. Selanjutnya, kegiatan mengajar sebagai dosen menyita waktunya. Beliau bahkan sempat menjabat sebagai Rektor Universitas Bhayangkara.


Pada 2007, Bibit mengikuti seleksi calon pimpinan KPK 2007-2011 dengan mengusung empat rambu pemberantasan korupsi, yaitu pemberantasan korupsi dalam bingkai hukum; tidak hanya represif, tapi juga membongkar akar masalah korupsi; urusan pemberantasan korupsi menjadi urusan semua kalangan; dan pengembalian kerugian negara. Komisi III DPR akhirnya memercayakan satu dari lima posisi pimpinan KPK kepada Bibit. Di KPK, Bibit menjabat sebagai wakil ketua yang membawahi bidang penindakan serta pengawasan internal dan pengaduan masyarakat.

profil 3 pimpina sementara kpk


 Tiga Pimpinan Sementara (Plt) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hari ini akan dilantik dan diambil sumpahnya di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ketiga Plt tersebut dilantik setelah dipilih oleh Tim Lima yang ditugaskan oleh Presiden untuk mencari Pimpinan sementara KPK. Tiga orang yang terpilih menjadi Plt KPK tersebut adalah Tumpak Hatorangan Panggabean yang menggantikan posisi Antasari Azhar, namun tidak secara otomatis menduduki jabatan sebagai Ketua KPK, kemudian Waluyo yang akan menggantikan posisi Bibit Samad Riyanto dan Mas Ahmad Santosa yang menggantikan posisi Chandra M. Hamzah. Untuk mengenal lebih dekat sosok ketiga Plt KPK tersebut, berikut profil singkatnya:



Tumpak Hatorangan Panggabean

 Mantan Pimpinan KPK Jilid I periode 2003-2007 ini Lahir di Sanggau, Kalimantan Barat, pada 29 Juli 1943 dan menamatkan pendidikan di bidang hukum pada Universitas Tanjungpura Pontianak. Seusai menamatkan bangku kuliah, bapak tiga anak ini memilih langsung untuk mengabdi kepada negara dengan berkarier di Kejaksaan Agung pada 1973.

Karier di Kejaksaan meliputi Kajari Pangkalan Bun (1991 – 1993), Asintel Kejati Sulteng (1993–1994), Kajari Dili (1994–1995), Kasubdit Pengamanan Ideologi dan Politik Pada JAM Intelijen (1996–1997), Asintel Kejati DKI Jakarta (1997–1998), Wakajati Maluku (1998–1999), Kajati Maluku (1999–2000), Kajati Sulawesi Selatan (2000 2001), dan SESJAMPIDSUS (2001–2003).

Sosok pekerja keras ini pernah mendapatkan penghargaan Satya Lencana Karua Satya XX Tahun 1997 dan Satya Lencana Karya Satya XXX 2003, kemudian diusulkan oleh Jaksa Agung RI untuk bertugas di Komisi Pemberantasan Korupsi pada tahun 2003.

Setelah memimpin KPK, Tumpak dipercaya menjadi Dewan Komisaris PT. Pos Indonesia, sebelum akhirnya dipilih oleh Presiden untuk menjadi Plt Pimpinan KPK untuk menggantikan Antasari Azhar yang tersandung kasus pidana.


Waluyo

 Pria kelahiran Klaten, 16 Desember 1956, ini sempat menjadi Deputi Bidang Pencegahan KPK pada rentang waktu Oktober 2004 hingga Maret 2008. Waluyo kemudian meninggalkan KPK setelah ditetapkan sebagai Direktur Umum dan Sumber Daya Manusia PT. Pertamina.

Waluyo menamatkan pendidikan pada Jurusan Teknik Mesin Universitas Trisakti dan Magister Manajemen dari Sekolah Tinggi Manajemen Prasetya Mulya.

Karier bapak dua anak ini dimulai pada perusahaan multinasional yang bergerak di bidang minyak dan gas bumi dengan beberapa penugasan di bagian/divisi operasi, perawatan, enjiniring, logistik, proyek, kesehatan, keselamatan kerja dan lindungan lingkungan (K3LL), sumber daya manusia dan divisi etika bisnis dan pengendalian internal termasuk penugasan satu tahun di USA, dengan posisi dari staf sampai ke posisi senior manager/vice president. Posisi terakhir sebagai Vice President Business Ethics and Assurance.

Waluyo terpilih menjadi Plt Pimpinan KPK menggantikan Bibit Samad Riyanto. Presiden melantik pada Oktober 2009 dan akan bertugas bersama dua orang lainnya hingga ada pimpinan definitif KPK terpilih.


Mas Ahmad Santosa

 Menjadi satu-satunya pendatang baru di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Mas Ahmad Santosa yang terpilih menjadi Plt sementara menggantikan Chandra M Hamzah, ternyata bukan orang baru yang berkiprah di bidang pemberantasan korupsi.

Sebelumnya, pria yang akrab dipanggil Ota ini menjadi anggota Tim Panitia Seleksi Pimpinan KPK Jilid II pada tahun 2007 dan sekarang justru dia yang harus menjalankan tugas sebagai Plt Pimpinan KPK.

Jejak langkahnya di bidang hukum semakin lengkap karena Ota pernah menjadi anggota Tim Pembaruan Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung dan menjadi Koordinator Tenaga Ahli Kejaksaan Agung saat lembaga itu dipimpin oleh Jaksa Agung Abdurahman Saleh.

Beliau juga dikenal sebagai ahli hukum lingkungan karena mendirikan Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) dan juga menjadi Ketua Dewan Pembinan dengan spesialisasi Hukum Lingkungan, Tata Kelola Pemerintahan yang Baik, Pembaruan Hukum dan Resolusi Konflik.

Lahir di Jakarta 10 Maret 1956, Mas Ahmad Santosa menyelesaikan studi hukumnya (S-1) dari Universitas Indonesia dan mendapatkan gelar LLM dari Osgoode Hall Law School di York University. Jabatan lain yang pernah disandangnya adalah Sekretaris Dewan Pembinan Yayasan LBH Indonesia dan penasihat pada Partnership for Governance Reform in Indonesia. Dia juga pernah menerima penghargaan Satya Lencana Pembangunan 2001.

chandr m hamzah

PROFIL CHANDRA HAMZAH : CATATAN ORANG-ORANG YANG MENGENALNYA

03Nov2009

Saya penasaran dengan Chandra Hamzah, tokoh yang saat ini menjadi topik utama berita bersama rekannya Bibit Samad Riyanto. Saya mencoba mencari profil wakil ketua KPK non-aktif ini. Berikut tulisan yang saya ambil dari berbagai sumber tentang siapa Chandra M. Hamzah




Lahir di Jakarta, 25 Februari 1967, menamatkan pendidikan sarjana di tahun 1995 pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Selepas kuliah, pada 1998, beliau—yang semasa mahasiswa sempat menjadi komandan resimen mahasiswa dan Ketua Senat Mahasiswa Universitas Indonesia—membidani lahirnya Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Chandra memiliki sejumlah lisensi keahlian bidang hukum, yakni lisensi Konsultan Hak Kekayaan Intelektual, lisensi Konsultan Hukum Pajak, lisensi Konsultan Hukum Pasar Modal, dan lisensi Pengacara/Penasihat Hukum/Advokat.


Pimpinan KPK termuda ini pernah bergiat di YLBHI sebagai asisten pembela umum. Sempat pula bekerja sebagai staf hukum PT Unelec Indonesia (UNINDO). Setelah itu, Chandra memulai karier pengacara pada sejumlah firma hukum. Beberapa di antaranya adalah pada firma hukum Erman Radjaguguk & Associates, partner pada firma hukum Hamzah Tota Mulia, pengacara senior pada firma hukum Lubis Ganie Surowidjojo, dan partner pada Assegaf Hamzah & Partners.


Sebelum berkiprah di KPK, Chandra juga sempat berkutat dalam kegiatan memberantas korupsi saat menjadi anggota Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) pada 2000-2001. Pada rentang waku yang sama, beliau juga ambil bagian dalam Tim Persiapan Pembentukan Komisi AntiKorupsi. Saat ini, beliau menjabat Wakil Ketua KPK yang membawahi bidang penindakan serta bidang informasi dan data.


Sewaktu nama Chandra Hamzah terpilih sebagai salah satu jajaran pimpinan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) beberapa waktu yang lalu, sejenak pikiran saya melayang ke masa-masa kuliah di Universitas Indonesia pada kurun waktu 1990 - 1992. Saat itu saya aktif dalam kepengurusan Himpunan Mahasiswa Ilmu Komputer UI (cikal bakal Senat Mahasiswa fak. Ilmu Komputer UI), serta anggota Kelompok Studi Mahasiswa UI “Eka Prasetya”. Saya masih ingat, saat itu adalah masa-masa awal Senat Mahasiswa Universitas Indonesia (SMUI) terbentuk, dan ketua SMUI pun dipilih oleh para Ketua Senat Fakultas (baru setelah beberapa tahun dipilih melalui pemilu raya di lingkungan UI).
Seingat saya, Chandra waktu itu adalah Komandan Resimen Mahasiswa (Menwa) UI, dan mahasiswa Fakultas Hukum UI. Saat itu Menwa adalah organisasi mahasiswa yang kurang disenangi oleh kalangan mahasiswa di lingkungan UI karena sifat mereka yang agak arogan dan “merasa lebih” karena punya akses ke kalangan militer. Tetapi saya menilai sosok Chandra agak berbeda. Chandra memang orangnya sangat tegas, cerdas dan punya nyali (terlihat dalam dia berdebat dan berargumen), tetapi sangat ramah (tidak “bermental militeristik”).

Oh ya, dia ini punya nama panggilan yang unik, yang berbeda dengan namanya, tapi apa ya? saya lupa juga tuh.
Chandra kemudian terpilih menjadi Ketua SMUI menggantikan Eep Saefullah Fatah. Saat itu kami menyebutkan, Chandra melepaskan diri dari jabatan “Menhankam / Pangab” menjadi “Presiden” di lingkungan UI. Saya beberapa kali terlibat diskusi cukup mendalam dengan Chandra waktu itu, dalam kapasitas saya sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa Ilmu Komputer UI, dan itulah kesan saya.
Interaksi saya dengan Chandra berikutnya terjadi di kelompok Studi Mahasiswa UI “Eka Prasetya” (KSM-UI EP). Saat itu Chandra tidak aktif di KSM-UI EP, tetapi pacarnya saat itu (yang kemudian jadi isterinya) Nadia Madjid (putri tokoh nasional, alm Nurcholis Madjid) adalah pengurus aktif KSM-UI EP, sehingga Chandra banyak juga ikut nongkrong bersama pentolan-pentolan KSM-UI EP. Saya memang lebih banyak aktif di KSM-UI EP daripada Senat Mahasiswa. Mungkin ini disebabkan saya kurang menyenangi “politik praktis” sehingga suasana di KSM-UI EP yang “lebih mencerminkan intelektualitas” lebih menarik minat saya.
Nah hebatnya, Chandra berada di kedua “dunia” tersebut, yaitu “dunia politik praktis” serta “dunia intelektualitas”. Ada satu tambahan lagi, dia punya nyali seperti “dunia militer”.
Tulisan ini saya dedikasikan untuk Chandra. Sosok yang saya kenal sejak kuliah dulu, yang sekarang menjadi “korban permainan politik tingkat tinggi” yang tidak mudah dipahami oleh orang awam.
Chan, mungkin kamu sudah lupa sama saya, karena memang interaksi kita tidak terlalu intensif sewaktu kuliah dulu, walaupun kita beberapa kali bertemu dalam berbagai kegiatan dan perdebatan.
Tetapi satu hal yang saya masih ingat Chan, sewaktu penerimaan mahasiswa baru UI tahun 1991. Saat itu kamu jadi Ketua SMUI dan saya adalah salah satu anggota panitia Ordik Mahasiswa di Kampus UI.
Di balairung UI tahun 1991, saya masih ingat kamu berteriak dalam pidatomu “Tidak ada kata jera dalam perjuangan !” … Mudah-mudahan semangat yang sama masih ada di dalam dirimu Chan … TIDAK ADA KATA JERA DALAM PERJUANGAN !





Kemaren, tanggal 29 Oktober 2009, tepat sehari setelah Hari Sumpah Pemuda, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto ditahan di Mabes Polri. Keduanya dikenakan tuduhan telah menyalahgunakan wewenang sebagai pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bagi saya, ini adalah masalah hukum yang pelik dan rumit. Dan saya merasa tidak tahu apa-apa tentang itu, selain hanya membaca perdebatan hukum di media dan bertanya lewat para ahlinya. Yang ingin saya tulis adalah Chandra M Hamzah. Kami menyebutnya dengan nama Pance. Dulu, ketika masuk UI tahun 1991, dia adalah Ketua Harian Senat Mahasiswa UI. Dalam balairung besar UI, Pance bersuara lantang menyambut para mahasiswa UI yang berjumlah ribuan. Slogan yang dipakai oleh SMUI waktu itu adalah “Tiada Kata Jera dalam Perjuangan.” Chandra juga Komandan Resimen Mahasiswa UI yang bermarkas di pintu masuk UI, dekat para mahasiswa menunggu bis kuning.
Pance kuliah di Fakultas Hukum UI. Dia berhasil menjadikan Menwa UI sebagai organisasi yang tidak sesangar di kampus lain. Hubungannya begitu dekat dengan kelompok atau organisasi mahasiswa lain. Begitu juga dengan SMUI, Pance berhasil menjadikan sebagai organisasi yang padu, ketika berhadapan dengan aturan organisasi mahasiswa yang berubah-ubah. Pance menggantikan Eep Saefullah Fatah (FISIP UI) sebagai Ketua Harian SMUI. Di kemudian hari, Bagus Hendraning menggantikan Pance. Proses pemilihan waktu itu dilakukan oleh Ketua-ketua Senat Mahasiswa Pakultas. Setelah itu, baru diadakan pemilihan raya (pemira) dengan ketua terpilih Zulkiefliemansyah (FEUI). Baru berturut-turut Komaruddin (FISIP UI), Selamat Nurdin (FISIP UI) dan Rama Pratama (FEUI). Saya pernah maju jadi Ketua SMUI tahun 1995, namun kalah dari Komaruddin.
Pance adalah organisatoris yang baik. Dia juga aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Saya masih mengingat bagaimana dia mendekati para yunior satu demi satu, lalu memberikan pemahaman tentang kemahasiswaan. Seingat saya – ada dalam catatan harian saya --, Pance menilai saya sebagai yunior yang susah berbicara. Kalau berbicara, sulit dimengerti. Mungkin karena logat atau memang karena sejak kecil saya “teloh” (bahasa Minang) alias gagap berbicara. Aktivitas di UI memang membuat saya mulai membiasakan diri, pertama lewat catatan di buku sebelum berbicara, lalu pelan-pelan mulai mengandalkan ingatan.
Ketika Pance menjadi Ketua Harian SMUI, kami sempat mengadakan kegiatan nasional dengan tajuk Diskusi Mahasiswa Tentang Tinggal Landas (DMTL). Waktu itu saya kebagian sebagai seksi acara. BJ Habibie hadir waktu itu, juga pimpinan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi. Sebagian dari pimpinan mahasiswa itu kini menjadi pemimpin dalam dunianya masing-masing, terutama di bidang pendidikan, lembaga swadaya masyarakat, kaum profesional, intelektual dan lain-lain. Terlalu banyak nama untuk disebutkan. Pada tahun berikutnya, di masa kepemimpinan Bagus Hendraning, diadakan juga Simposium Nasional Angkatan Muda 1990-an: Menjawab Tantangan Abad 21. Kebetulan saya sendiri yang menjadi Ketua Panitia Pelaksana. Eep dan Pance menjadi narasumber dalam kegiatan kemahasiswaan itu.
Saya juga hadir ketika Pance menikah dengan istri pertamanya: Nadia Madjid. Di sana saya baru tahu Pance adalah putra Minang dengan penggunaan adat Minang dalam prosesi pernikahan. Mbak Nadia adalah mahasiswa Fakultas Sastra UI jurusan Bahasa Inggris dan putri Nurcholis Madjid. Masih ada foto perkawinan itu, ketika setiap orang ingin berdiri berdekatan dengan Cak Nur. Selama periode itu, kami beberapa kali bertemu, terutama dalam forum-forum diskusi mahasiswa. Dibandingkan antara Pance dengan Eep Saefullah Fatah, tentu saya lebih banyak bertemu dengan Eep, baik sebagai notulis, moderator, sampai kemudian sebagai pembicara pendamping dan pembicara pengganti tentang gerakan mahasiswa. Skripsi saya juga tentang gerakan mahasiswa.
Ketika aksi-aksi mahasiswa 1998 meledak, saya ketemu Pance di pagar halaman kampus UI Salemba. Waktu itu tanggal 2 Mei 1998. Keluarga Besar UI mengerahkan massanya, ketika senat-senat mahasiswa justru tidak bergerak. Di kampus terpasang pengumuman dari Ketua-Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran UI, Fakultas Ilmu Keperawatan UI dan Fakultas Kedokteran Gigi UI bahwa mereka tidak bertanggungjawab atas aksi mahasiswa hari itu. Saya lihat beberapa tokoh luar kampus hadir di panggung orasi, seperti Ali Sadikin, Adnan Buyung Nasution, dan Rohut Sitompul. Saya sempat mengusir Rohut Sitompul dari atas mimbar.
Kebetulan, para mahasiswa dari luar kampus bergerak di jalanan Salemba dan ingin agar mahasiswa UI ikut turun ke jalan. Para mahasiswa UI sedikit terpancing, tetapi ditahan oleh aparat keamanan bersenjata lengkap di pagar kampus. Saya dan Pance ada di tengah-tengah aparat dan mahasiswa UI itu, mencegah agar mahasiswa tidak keluar kampus dan juga menghalangi aparat yang mendekat langkah demi langkah mendekati mahasiswa. Belakang saya tahu aksi di pagar kampus itu masuk CNN. Memang sempat terjadi aksi dorong-dorongan, tetapi tidak sampai menjadi bentrokan. Kepada saya Pance mengatakan bahwa Ia mendapatkan informasi betapa mahasiswa UI akan dikorbankan. Dia mewanti-wanti agar saya menghubungi pimpinan aksi mahasiswa untuk tidak membuat massa mahasiswa UI turun ke jalan. Saya menyampaikan informasi itu di posko yang kami buat di Gang Kober (Kuburan), Depok. Pimpinan KBUI memang berkumpul di sana dan kini sebagian sudah mendapatkan gelar doktor dan masih banyak yang mengambil gelar doktor di luar negeri.
Ketika menduduki Gedung MPR-DPR, Pance juga terlihat di luar pagar. Menurut informasi yang saya dapat, dia berusaha mencegah kalau terjadi penyerbuan atas mahasiswa yang menduduki gedung itu. Pance menyediakan sejumlah bis untuk evakuasi, kalau tiba-tiba terjadi penyerbuan. Isu penyerbuan itu menyebabkan kami tidak bisa tidur. Pada dini hari, pukul 03.00, kami sempat terbangun dan berlari sekencang-kencangnya menuju halaman belakang, karena ada info sweeping dan penyerbuan dari pasukan militer di luar gedung. Gedung DPR-MPR itu tidak jadi diserbu, justru dimasuki oleh banyak sekali tokoh yang kemudian dikenal sebagai tokoh-tokoh reformasi. Peran Pance yang paling besar menurut saya adalah dalam berhubungan dengan ayah mertuanya, Cak Nur.
Setelah semuanya berakhir, Pance saya dengar lebih banyak aktif di law-firm yang dia pimpin. Kebetulan saya juga kenal para tetua di sana yang dikenal sebagai genk Erry Riyana Hardjapamengkas. Dia juga berinisiatif membentuk lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang advokasi hukum. Salah satunya adalah Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK). Ada beberapa teman yang aktif disana. Ketika konflik horizontal meledak di banyak daerah, seperti di Ambon, kelompok itu juga aktif mengumpulkan tokoh-tokoh masyarakat yang kemudian membentuk Forum Indonesia Damai. Saya juga aktif di kelompok itu dan beberapa kali ikut rapat di kawasan Kebayoran Baru. Belakangan, kelompok inilah yang menjadi salah satu pihak yang aktif dalam amandemen Konstitusi, paling tidak dalam mendorong dari belakang. Saya juga terlibat menjadi anggota dari Koalisi Konstitusi Baru (KKB). Adegan paling “heroik” adalah ketika Bambang Widjojanto merobek naskah pembentukan Komisi Konstitusi versi MPR.
Para pengacara lain setahu saya sibuk dengan menjadi pengacara bagi para tersangka Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), terutama yang perusahaannya masuk ke dalam BPPN. BPPN waktu itu memiliki aset ratusan trilyun rupiah. Rata-rata mereka kemudian menjadi kaya raya. BLBI, kita tahu, telah menghabiskan uang negara sebanyak lebih dari Rp. 600 Trilyun, hampir 100 kali lipat skandal Bank Century. Tetapi tidak ada artinya dibandingkan dengan dana tanggap darurat yang hanya Rp 100 Milyar untuk gempa di Sumatera Barat. Butuh lebih dari 60 gempa bumi lagi berkekuatan 7,9 scala richter agar dana turun Rp. 6 Trilyun. Atau butuh 6000 gempa bumi lagi berkekuatan 7,9 scala richter agar dana turun Rp. 600 Trilyun.
Nama Chandra muncul lagi sebagai kandidat pimpinan KPK yang diseleksi di DPR RI. Saya sendiri gagal lolos ke DPR RI sebagai calon anggota KPU. Suara yang diperoleh Chandra berada di urutan atas. Tapi dalam pemilihan Ketua KPK, dia kalah dari Anthasari Azhar. Saya beberapa kali saja mengirimkan SMS kepada Chandra atau Pance ini. SMS terakhir saya kirimkan menjelang deklarasi saya sebagai politisi di Universitas Paramadina, Jakarta, tanggal 6 Agustus 2008. Chandra datang dan memberikan kesaksian (lihat di www.indrapiliang.com bagian testimony):
“Terima kasih. Pada dasarnya Saya kenal Indra ini 15 tahun yang lalu. Jadi kebetulan waktu itu saya Ketua Senat Mahasiswa UI dan kemudian Beliau ini masuk dalam seksi kepengurusan. Sejak pertama saya kenal yang namanya Indra itu memang tukang kritik, tukang ribut, apapun dipertanyakan.
Sehubungan dengan niat Indra untuk masuk ke DPR, jadi kami di KPK memang menganggap ada korupsi di pengadaan badan dan jasa, ada korupsi di beberapa sektor lain. Tetapi satu hal yang paling sukses adalah korupsi dalam pembuatan peraturan perundang-undangan.

Sampai saat ini katakanlah UU kita UUD 1945, itu umurnya sebelum di amandemen masih berlaku sampai tahun 1999. 55 tahun UUD 1945 itu berlaku dan yang membuat sudah meninggal. Berarti kita dikuasai oleh orang-orang mati. Kitab UU Hukum Perdata di Indonesia itu itu dibuat pada tahun 1930 dan sekarang sudah 2008, berarti sudah 78 tahun.


Jadi seandainya proses pembuatan legislasi undang-undang ini diwarnai dengan nuansa korupsi, maka bisa dibayangkan generasi ke depan akan di kekang atau hidup dalam suasana yang korup. Jadi korupsi yang ada di pengadilan hanya satu orang, satu keluarga atau sekelompok orang, tetapi korupsi yang ada di legislatif menjadi kolektif. Itu adalah sumber permasalahan kenapa bangsa ini menjadi demikian terpuruk. Dan hadirnya Indra mudah-mudahan tidak larut, karena ada beberapa asumsi, mudah-mudahan tidak benar, kalau kita masuk ke sarang penyamun, jadi penyamun juga. Terima kasih. (Chandra M Hamzah, Wakil Ketua, Komisi Pemberantasan Korupsi)”
Terakhir jumpa Chandra saya lupa, barangkali dalam suatu malam di sebuah cafe di TIM ketika sejumlah teman bertemu. Tapi yang jelas, Chandra alias Pance ini adalah produk murni dari reformasi. Almarhum Cak Nur mengatakan bahwa yang dibutuhkan dalam zaman reformasi ini adalah kaum reformis yang otentik. Saya bersaksi bahwa Chandra alias Pance ini adalah produk dari kaum reformis yang otentik itu. Apakah karena itu ia ditahan? Apakah karena itu ia diperiksa? Atau adakah drama-drama lain yang terlihat semakin hebat dipertontonkan dalam produk kemasan seperti sekarang ini? Indonesia jelas berada di tubir jurang negara gagal (failed state). Apakah penahanan Chandra bagian dari sangkakala kematian sebuah bangsa itu, seperti yang pernah ditangisi oleh Kahlil Gibran atas kematian bangsa Libanon?
Yang jelas, seperti Chandra yang berucap di hadapan ribuan mahasiswa UI tahun 1991 lalu itu, saya hanya bisa katakan: TIADA KATA JERA DALAM PERJUANGAN!!!



chandr m hamzah

saatnya mengenal bibit samad riyadi

Di hari ulang tahunnya yang ke 64, Bibit Samad Riyanto telah empat hari mendekam di dalam tahanan Brimob Polri, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Badan Reserse Kriminal Polri menahan pria kelahiran Kediri, Jawa Timur, 3 November 1945, dengan tuduhan menyalahgunakan wewenang dan kasus penyuapan saat masih aktif sebagai Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi.
Setelah jadi tersangka, Presiden sudah menonaktifkannya. Tuduhan yang sama juga dialamatkan ke Chandra M Hamzah, juga Wakil Ketua KPK yang sudah dinonaktifkan. Keduanya dikurung ditempat yang sama.
Bibit saya kenal sejak 1999. Selama kenal dengan Bibit, saya tak pernah makan bersama di restoran mewah. Biasanya pun kami duduk di mall, salah satu tempat favorit kami adalah kedai kopi di kawasan Mall Ciputra. Waktu itu Bibit menyetir sendiri mobilnya sedan Toyota Corolla bekas buatan tahun 1998. Warna hijau metalik tua.
*******
Bibit menghabiskan masa sekolahnya di kampung kelahirannya, Kediri. Berasal dari keluarga tak mampu yang hanya sanggup membiayainya hingga tamat SMP. Berikutnya dia membiayai sekolahnya sendiri, menjadi kuli tenun. Tamat SMA, bibit masuk Akabri (sekarang Akpol) dan lulus pada 1970. Alasannya masuk polisi sederhana saja, untuk menyambung hidup sembari menjadi penegak hukum.

Setelah lulus, Bibit menyunting Sugiharti, perawat dari Jawa Tengah. Mereka memiliki empat buah hati, yaitu Yudi Prianto, Bayu, Endah Sintalaras, dan Rini Wulandari. Dua di antaranya meniti karir yang sama dengan bapaknya yakni menjadi polisi. Ajun Komisaris Polisi Bayu Suseno kini menjabat sebagai Kepala Polsek Pagedangan, Tangerang.

Selama menjadi polisi, dia pernah menjabat di beberapa posisi penting. Di antaranya Kepala Polres Jakarta Utara, Kapolres Jakarta Pusat, Wakil Kepala Polda Jawa Timur dan Kepala Polda Kalimantan Timur. Ketika menjadi Kepala Polda Kaltim, Bibit tegas mengungkap illegal logging. Bibit menangani 234 kasus ilegal logging. Bibit bilang, si tauke yang terkena kasus berani menyuapnya Rp 500 juta- Rp 1 miliar.
Buat mendapatkan sekedar Rp 100 miliar, kalau dia mau itu perkara mudah. Namun itu tak dilakukannya, hingga kemudian dia terpental dari kursi Kapolda. Setelah itu pangkatnya mentok di bintang dua. Bahkan diujung kariernya dia tak diberi jabatan apapun. Hingga suatu kali, kami pernah diskusi soal rencana Presiden Abdurrahman Wahid yang hendak menunjuknya menjadi Kepala Polri. Dia sudah dipanggil, bahkan Gus Dur memintanya memaparkan programnya sebagai Kepala Polri.

Saat itu, saya menyarankan padanya mempublikasikan programnya itu ke media massa. Dia mengkritik kinerja di kepolisian. Hasilnya, ya dia tak jadi Kepala Polri, malah pensiunnya makin dipercepat. Rupanya, dia sudah mempersiapkan diri untuk menjudi dosen. Bibit menamatkan studi hingga S3 dan mendapat gelar Doktor. Sejak itu dia lebih banyak aktif sebagai pengajar di Universitas Bina Nusantara, Universitas Negeri Jakarta, PTIK, dan menjadi rektor Universitas Bhayangkara.

Setalah tak aktif di kepolisian, selain mengajar dia rajin menulis buku. Antara lain, bukunya yang berjudul “Pemikiran Menuju Polri Yang Profesional, Mandiri, Berwibawa, Dan Dicintai Rakyat.”
Belakangan dia terpilih menjadi salah seorang pimpinan KPK pada 2007. Di sini pun dia masih meluangkan waktunya untuk menulis buku, salah satunya adalah “Anatomi Korupsi di Indonesia.” Buku ini hampir rampung. Satu lagi buku yang dipersiapkannya adalah “Masih Pantaskah KPK Dipertahankan”.
******
Bibit adalah polisi yang tak pernah mengklaim dirinya sebagai seorang penegak hukum putih bersih. Ketika uji kelayakan untuk menjadi salah seorang pemimpin KPK, Bibit pernah bilang bahwa dia pernah menerima bantuan bahan bangunan, tetapi bukan dari pihak yang berpekara. Dari uang itulah dia membangun rumahnya yang waktu itu Rp 26 juta. Itu terjadi saat dia menjabat Kepala Polres di kawasan Jakarta.

Rumah yang sampai kini masih ditempatinya itu berada di Pedurenan, belakang Perumahan Griya Kencana I, Ciledug, Tangerang. Untuk menuju ke kampung, ada sebuah pintu masuk di belakang asrama polisi di sana. Itu adalah pintu masuk perumahan. Nah, rumah Bibit meminjam gerbang Griya Kencana. Di pojok belakang kompleks ada sebuah gang yang pas untuk satu mobil, di sinilah rumahnya.

Menghadap ke barat, rumahnya yang bercat putih itu berdiri di atas tanah seluas 600 meter. Tanah itu dibeli pada anak buahnya pada 1989 seharga Rp 2.000 per meter. Bentuk rumahnya biasa saja. Di dalam rumah tak ada barang mewah. Di depan rumah ada tanah kosong yang biasa digunakan oleh pedagang menaruh gerobak pedagang kaki lima, juga tempat membakar sampah.

Tak ada barang mewah di dalam rumahnya. Di garasi rumahnya masih ada mobil VW tua. Namun, kini sedan Corolla itu sudah tak ada lagi. Di garasinya ada terparkir mobil Toyota Kijang Innova dan Toyota Avanza. Keduanya berwarna hitam.

Itulah sebabnya saya percaya jika sejumlah polisi bilang Bibit adalah orang yang sederhana. Bahkan ucapan itu juga datang dari Mantan Kepala Polri, Jenderal (purnawirawan) Chaeruddin Ismail. “Mas Bibit memang orangnya sangat sederhana,” katanya
*****

“Anatomi Korupsi di Indonesia.” Begitu judul buku yang sedang dirancang Bibit. Saya diminta untuk mengeditnya. Tapi baru selesai separuh. Ini lima bulan lalu. Penyelesaian buku agak tersendat, karena kesibukannya.

Rabu pekan lalu, saya bertemu lagi dengan Bibit di rumahnya yang terletak di Pedurenan, Ciledug, Tangerang. “Sekarang kan aku lagi nganggur. Jadi bukunya hampir selesai, pekan depan ya,” kata Bibit. Maklum setelah dinonaktifkan kesibukannya cuma berurusan dengan wajib lapor, menggugat ke Mahkamah Konstitusi, dan sisa waktunya dimanfaatkan untuk menulis buku.

Dia meminta saya mencari penerbit untuk mencetak bukunya. “Kita ambil royaltinya saja,” kata Bibit kepada saya. Sejauh ini sudah beberapa penerbit saya jumpai. Hasilnya, mereka menolak dengan alasan buku itu kurang menjual. Tetapi Bibit tak menyoalnya. “Kita cari lagi, atau kita kirim bertahap ke media massa tulisannya, bagaimana?”

Pada Kamis pekan lalu, Bibit malah tak bisa keluar lagi dari Mabes Polri. Setelah menjalankan wajib lapor, dia langsung dijebloskan ke dalam tahanan Mabes Polri. Jumat dia dikirim ke tahanan Brimob di Kelapa Dua, Depok.

Saya nggak tahu apakah akan bisa menjenguknya dalam tahanan, agar bisa membantu Bibit menyelesaikan bukunya itu. Mudah-mudahan bisa rampung. Sebab, dia sangat bersemangat dengan bukunya itu. Dia sangat ingin mengurai karut marut korupsi di negeri ini.
Apakah, Bibit penerima suap? Wallahualam…

Senin, 14 Desember 2009

Penyair Legendaris Indonesia


Puisi-puisi "Si Binatang Jalang" Chairil Anwar telah menjadi inspirasi bagi perjuangan kemerdekaan bangsanya. Pria kelahiran Medan, 26 Juli 1922, ini seorang penyair legendaris Indonesia yang karya-karyanya hidup dalam batin (digemari) sepanjang zaman. Salah satu bukti keabadian karyanya, pada Jumat 8 Juni 2007, Chairil Anwar, yang meninggal di Jakarta, 28 April 1949, masih dianugerahi penghargaan Dewan Kesenian Bekasi (DKB) Award 2007 untuk kategori seniman sastra. Penghargaan itu diterima putrinya, Evawani Alissa Chairil Anwar.

Chairil memang penyair besar yang menginspirasi dan mengapresiasi upaya manusia meraih kemerdekaan, termasuk perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan. Hal ini, antara lain tercermin dari sajaknya bertajuk: "Krawang-Bekasi", yang disadurnya dari sajak "The Young Dead Soldiers", karya Archibald MacLeish (1948).

Dia juga menulis sajak "Persetujuan dengan Bung Karno", yang merefleksikan dukungannya pada Bung Karno untuk terus mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945.

Bahkan sajaknya yang berjudul "Aku" dan "Diponegoro" juga banyak diapresiasi orang sebagai sajak perjuangan. Kata Aku binatang jalang dalam sajak Aku, diapresiasi sebagai dorongan kata hati rakyat Indonesia untuk bebas merdeka.

Chairil Anwar yang dikenal sebagai "Si Binatang Jalang" (dalam karyanya berjudul Aku) adalah pelopor Angkatan '45 yang menciptakan trend baru pemakaian kata dalam berpuisi yang terkesan sangat lugas, solid dan kuat. Dia bersama Asrul Sani dan Rivai Apin memelopori puisi modern Indonesia. Chairil Anwar meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Hari meninggalnya diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.


Chairil menekuni pendidikan HIS dan MULO, walau pendidikan MULO-nya tidak tamat. Puisi-puisinya digemari hingga saat ini. Salah satu puisinya yang paling terkenal sering dideklamasikan berjudul Aku ( "Aku mau hidup Seribu Tahun lagi!"). Selain menulis puisi, ia juga menerjemahkan karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia. Dia juga pernah menjadi redaktur ruang budaya Siasat “Gelanggang” dan Gema Suasana. Dia juga mendirikan “Gelanggang Seniman Merdeka” (1946).

Kumpulan puisinya antara lain: Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (1949); Deru Campur Debu (1949); Tiga Menguak Takdir (1950 bersama Asrul Sani dan Rivai Apin); Aku Ini Binatang Jalang (1986); Koleksi sajak 1942-1949", diedit oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986); Derai-derai Cemara (1998). Buku kumpulan puisinya diterbitkan Gramedia berjudul Aku ini Binatang Jalang (1986

Karya-karya terjemahannya adalah: Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948, Andre Gide); Kena Gempur (1951, John Steinbeck).

Sementara karya-karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman dan Spanyol adalah: "Sharp gravel, Indonesian poems", oleh Donna M. Dickinson (Berkeley, California, 1960); "Cuatro poemas indonesios, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati" (Madrid: Palma de Mallorca, 1962); Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963); "Only Dust: Three Modern Indonesian Poets", oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969);

The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Burton Raffel (Albany, State University of New York Press, 1970); The Complete Poems of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Liaw Yock Fang, dengan bantuan HB Jassin (Singapore: University Education Press, 1974); Feuer und Asche: sämtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch oleh Walter Karwath (Wina: Octopus Verlag, 1978); The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh Burton Raffel (Athens, Ohio: Ohio University, Center for International Studies, 1993)
Sedangkan karya-karya tentang Chairil Anwar antara lain:
1) Chairil Anwar: memperingati hari 28 April 1949, diselenggarakan oleh Bagian Kesenian Djawatan Kebudajaan, Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (Djakarta, 1953); 2) Boen S. Oemarjati, "Chairil Anwar: The Poet and his Language" (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1972); 3) Abdul Kadir Bakar, "Sekelumit pembicaraan tentang penyair Chairil Anwar" (Ujung Pandang: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sastra, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin, 1974); 4) S.U.S. Nababan, "A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar" (New York, 1976); 5) Arief Budiman, "Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan" (Jakarta: Pustaka Jawa, 1976);

6) Robin Anne Ross, Some Prominent Themes in the Poetry of Chairil Anwar, Auckland, 1976; 7) H.B. Jassin, "Chairil Anwar, pelopor Angkatan '45, disertai kumpulan hasil tulisannya", (Jakarta: Gunung Agung, 1983); 8) Husain Junus, "Gaya bahasa Chairil Anwar" (Manado: Universitas Sam Ratulangi, 1984); 9) Rachmat Djoko Pradopo, "Bahasa puisi penyair utama sastra Indonesia modern" (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985); 10) Sjumandjaya, "Aku: berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar (Jakarta: Grafitipers, 1987); 11) Pamusuk Eneste, "Mengenal Chairil Anwar" (Jakarta: Obor, 1995); 12) Zaenal Hakim, "Edisi kritis puisi Chairil Anwar" (Jakarta: Dian Rakyat, 1996). ►e-ti/tsl, dari berbagai sumber






















Nama:
Chairil Anwar
Lahir:
Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922
Meninggal:
Jakarta, 28 April 1949

Pendidikan:
- HIS
- MULO (tidak tamat)

Profesi:
Penyair Angkatan 45

Karya Kumpulan Puisi:
- Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (1949);
- Deru Campur Debu (1949);
- Tiga Menguak Takdir (1950 bersama Asrul Sani dan Rivai Apin);
- Aku Ini Binatang Jalang (1986);
- Koleksi sajak 1942-1949", diedit oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986);
- Derai-derai Cemara (1998)
- Buku kumpulan puisinya diterbitkan Gramedia berjudul Aku ini Binatang Jalang (1986).


Karya Terjemahan:
Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948, Andre Gide)
- Kena Gempur (1951, John Steinbeck).

Karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman dan Spanyol:
- "Sharp gravel, Indonesian poems", oleh Donna M. Dickinson (Berkeley, California, 1960);
- "Cuatro poemas indonesios, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati" (Madrid: Palma de Mallorca, 1962);
- Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963);
- "Only Dust: Three Modern Indonesian Poets", oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969);
- The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Burton Raffel (Albany, State University of New York Press, 1970)
- The Complete Poems of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Liaw Yock Fang, dengan bantuan H. B. Jassin (Singapore: University Education Press, 1974)
- Feuer und Asche: sämtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch oleh Walter Karwath (Wina: Octopus Verlag, 1978)
- The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh Burton Raffel (Athens, Ohio: Ohio University, Center for International Studies, 1993)

Karya-karya tentang Chairil Anwar
Chairil Anwar: memperingati hari 28 April 1949, diselenggarakan oleh Bagian Kesenian Djawatan Kebudajaan, Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (Djakarta, 1953)
Boen S. Oemarjati, "Chairil Anwar: The Poet and his Language" (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1972).
Abdul Kadir Bakar, "Sekelumit pembicaraan tentang penyair Chairil Anwar" (Ujung Pandang: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sastra, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin, 1974)
S.U.S. Nababan, "A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar" (New York, 1976)
Arief Budiman, "Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan" (Jakarta: Pustaka Jawa, 1976)
Robin Anne Ross, Some Prominent Themes in the Poetry of Chairil Anwar, Auckland, 1976
H.B. Jassin, "Chairil Anwar, pelopor Angkatan '45, disertai kumpulan hasil tulisannya", (Jakarta: Gunung Agung, 1983)
Husain Junus, "Gaya bahasa Chairil Anwar" (Manado: Universitas Sam Ratulangi, 1984)
Rachmat Djoko Pradopo, "Bahasa puisi penyair utama sastra Indonesia modern" (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985)
Sjumandjaya, "Aku: berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar (Jakarta: Grafitipers, 1987)
Pamusuk Eneste, "Mengenal Chairil Anwar" (Jakarta: Obor, 1995)
Zaenal Hakim, "Edisi kritis puisi Chairil Anwar" (Jakarta: Dian Rakyat, 1996)