YOGYAKARTA, KOMPAS.com — Kasus pelanggaran hak anak di DI Yogyakarta tergolong tinggi. Sepanjang tahun 2008-2009, Lembaga Perlindungan Anak DI Yogyakarta menangani sebanyak 352 kasus anak. Dari jumlah tersebut, kekerasan seksual merupakan kasus yang paling banyak terjadi, yaitu mencapai 171 kasus.
Dengan jumlah 97 kasus, pelanggaran anak terkait kesulitan memperoleh akta kelahiran menempati urutan kedua diikuti perebutan hak asuh anak yang mencapai 61 kasus di tempat ketiga. Kekerasan fisik menempati urutan terbanyak keempat dengan jumlah 51 kasus dan penelantaran menempati urutan kelima dengan jumlah 33 kasus.
"Sejauh ini belum terlihat adanya penurunan jumlah pelanggaran anak, malah ada kecenderungan meningkat," tutur Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak (LPA) DI Yogyakarta, Y Sari Murti Widiyastuti, seusai menyampaikan makalah dalam seminar nasional "Optimalisasi Perlindungan Anak dan Tantangannya di Indonesia" di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Kamis (29/10).
Pada kasus kekerasan seksual, mayoritas korban berusia 6-10 tahun dengan pelaku terbanyak orang dekat, yaitu tetangga atau teman. Korban kekerasan seksual terbanyak adalah anak perempuan dengan jumlah mencapai 23 anak sepanjang tahun 2008 dan sembilan anak selama Januari hingga September 2009.
Sari menuturkan, anak perempuan rentan menjadi korban kekerasan seksual karena dinilai lebih lemah dari anak laki-laki. Oleh sebab itu, keluarga dengan anak perempuan perlu memberi pengawasan. Bentuk perlindungan paling sederhana adalah dengan membekali anak perempuan dengan pengetahuan mengenai risiko. Anak perempuan juga perlu dilatih agar bisa menolak ajakan mencurigakan dari orang di sekitarnya.
Lintas batas
Berbeda dengan beberapa tahun yang lalu, kata Sari, saat ini pelanggaran hak pada anak telah melintasi batas ekonomi dan pendidikan. Kasus-kasus yang ditangani LPA DIU tidak saja terjadi di masyarakat dengan tingkat pendidikan ataupun ekonomi menengah ke bawah, tetapi juga dari kalangan masyarakat yang tergolong mampu dan relatif berpendidikan.
"Gejala ini mengindikasikan hukum pun semakin tidak berdaya untuk mencegah pelanggaran hak pada anak. Perlu ada tindakan pencegahan yang lebih menyeluruh, termasuk dari dunia pendidikan," tuturnya.
Terkait hal itu, Wakil Ketua Pengadilan Negeri Yogyakarta Muhammad Lutfi mengakui, proses hukum kasus anak masih kerap menemui kendala. Kendala itu di antaranya ego sosial dan budaya masyarakat. Sebagai gambaran, proses hukum pemerkosaan anak di bawah umur oleh beberapa teman lelakinya sempat diwarnai unjuk rasa masyarakat yang justru menuntut para terdakwa dibebaskan. "Mereka justru mempersalahkan korban yang dianggap nakal dan tidak benar," tuturnya.
Pengadilan juga mengalami kesulitan ketika berhadapan dengan hukum internasional. Hal ini terjadi apabila pelanggaran hak anak terjadi di negara lain atau dengan pelaku warga negara asing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar